Kamis, 29 Maret 2012

Teknik Utama Untuk Stabilisasi Tanah


ADA BEBERAPA TEKNIK UTAMA UNTUK STABILISASI TANAH, YAITU:

1. Pemadatan
Pemadatan tanah adalah cara yang paling sederhana untuk memperbaiki stabilitas dan kekuatan daya dukung tanah. Pemadatan tanah merupakan proses menaikkan berat unit tanah dengan memaksa butiran-butiran tanah menjadi lebih rapat dan mengurangi pori-pori udara di dalam tanah dengan menggunakan beban statis atau dinamis pada tanah. Pada tanah yang bergradasi baik, hampir semua udara dapat disisihkan dengan pemadatan.
Pemadatan statik dilakukan terhadap suatu tanah apabila diinginkan suatu kepadatan dengan berat volume tertentu (γd). Berat volume kering yang digunakan adalah berat volume kering maksimum (γd maksimum) yang diperoleh berdasarkan hasil uji pemadatan standar Proctor. Pemadatan diukur secara kuantitatif berdasarkan kepadatan kering tanah, yang merupakan berat kering tanah per unit volume tanah, dengan memperhitungkan pengaruh kadar air. Kadar air tanah adalah berat air yang terkandung dalam tanah dalam bentuk persentase berat air terhadap berat kering tanah. Bila kadar air ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai nilai optimumnya, maka berat volume keringnya juga akan meningkat.

Tes pemadatan dapat dilakukan di lapangan atau di laboratorium, dimana cara tes pemadatan di lapangan yang umum dipakai adalah :
1. Metode Sand Cone
2. Metode Rubber Balloon
3. Metode Sampling

Di laboratorium, cara tes pemadatan yang biasa dilakukan adalah metode yang dilakukan oleh Proctor pada tahun 1933. Tes pemadatan ini berfungsi untuk menentukan harga maksimum berat voume kering (γd max) dan kadar air yang bersesuaian dengan γd max tersebut. Kadar air dimana γd adalah maksimum dinamakan ”kadar air optimum” (wopt). Harga dari wopt tersebut kemudian dipakai untuk patokan pelaksanaan pemadatan dari tanah yang bersangkutan di lapangan. Ada 2 (dua) cara tes pemadatan di laboratorium yang diperkenalkan oleh Proctor, yaitu :
1. Standard Proctor Test
2. Modified Proctor Test

Kedua tes pemadatan tersebut pada prinsipnya adalah sama kecuali tenaga yang diperlukan untuk pemadatan. Standard Proctor Test menggunakan tenaga sebesar 12,375 ft-pound/ft, sedangkan Modified Proctor Test menggunakan tenaga sebesar 56,250 ft-pound/ft.

2. Stabilisasi Mekanis
Stabilisasi mekanis adalah proses meningkatkan gradasi tanah dengan pemakaian material lain yang hanya mempengaruhi sifat fisik tanah (Sherwood, 1993). Proporsi penambahan material biasanya lebih dari 10 % dan bisa mencapai 50 % dari tanah yang distabilisasi. Stabilitas tanah yang bergradasi buruk diperbaiki dengan menambah material lain untuk mengisi pori-pori antar partikel.

Pencampuran material tersebut memiliki dua fungsi utama. Fungsi pertama adalah meningkatkan stabilitas tanah kohesif yang memiliki kekuatan rendah dengan menambahkan material kasar. Fungsi yang kedua adalah mengurangi ketidakstabilan tanah berbutir yang disebabkan oleh kurangnya ikatan antar partikel tanah dengan cara menambahkan material halus. Penentuan gradasi campuran sangat penting untuk memastikan bahwa semua ruang pori terisi.


3. Penambahan Stabilizing Agents
Ada tiga cara stabilisasi tanah dengan penambahan stabilizer, yaitu mengikat partikel tanah bersama (bonding), membuat tanah kedap air (waterproofing), atau kombinasi dari keduanya. Agen pengikat menstabilkan tanah dengan proses sementasi sehingga efek air terhadap struktur menjadi berkurang. Agen pengikat ini tidak membuat tanah kedap air tetapi menyerap lebih sedikit air dibandingkan dengan tanah yang tidak distabilisasi sehingga kemampuan untuk mengembang menjadi berkurang. Kemampuan stabilisasi meningkat sesuai dengan peningkatan kandungan stabilizer.

Prinsip waterproofing adalah membuat tanah berada pada kondisi kadar air rendah tetapi masih cukup memenuhi kekuatan yang sesuai dengan tujuannya. Efisiensi stabilizer kelompok ini tergantung pada seberapa besar permeabilitas tanah dapat dikurangi. Hanya sedikit atau tidak ada proses sementasi yang terjadi, sehingga kemampuan stabilisasi tidak meningkat seiring dengan peningkatan kandungan stabilizer yang ditambahkan.

Minggu, 27 November 2011

Steel Piles

- Support heavy loads.
- Can be driven to great depth without damage.
- Are easily cut and spliced.
- Sections as H-Piles and Pipe Piles are common.
- Pipes are filled with concrete for additional strength.
- Principal disadvantage is its high cost.
- Bearing is the principal load transfer mechanism, but the small area
   of the tip limits the load capacity of steel piles.

Steel piles generally are either pipe piles or rolled steel section H-section piles. Pipe piles can be driven into the ground with their ends open or closed. Wide–flange and I section steel beams can also be used as pile. However, H section piles are usually preferred because their web flange thicknesses are equal. In the wide-flange and I section beams, the web thickness are smaller than the thickness of the flange. When necessary, steel piles are splice by welding or by riveting.

Rolled steel H-section piles:
 – 40 ft to 100 ft in length,
 – 40 tons to 120 tons capacity.

Steel Pipe piles:
– 50 ft to 150 ft in length,
– 50 tons to 150 tons capacity.

Selasa, 22 November 2011

Composite Piles

- Made up of two or more different materials (for example, steel and concrete).

- For a timber-concrete pile, the lower section of the pile might be timber, while upper section might be a concrete or even a steel shell pile. The timber part is installed below ground water due to its vulnerability to insect attack and decay above ground. The concrete or steel pile is then used above the ground water level.

The upper and lower portions of composite piles are made up of different material. For example, composite piles may be made of steel and concrete or timber and concrete. Steel and concrete piles consist of a lower portion of steel and upper portion of cast-in-place concrete. This type of piles is the one used when the length of the pile required for adequate bearing exceeds the capacity of simple cast-in-place concrete piles. Timber and concrete piles usually consist of a lower portion of timber pile below the permanent water table and an upper portion of concrete in any case, forming proper joints between two dissimilar materials is difficult and, for that reason composite piles are not widely used.

Pre-stressed concrete with steel H-section:
 – 60 ft to 200 ft in length,
– 30 tons to 100 tons capacity.

Concrete filled steel pipe:
– 50ft to 150 ft in length,
– Capacity varies.

Jumat, 11 November 2011

PIER of BRIDGE

A pier is a raised structure, including bridge and building supports and walkways, over water, typically supported by widely spread piles or pillars. The lighter structure of a pier allows tides and currents to flow almost unhindered, whereas the more solid foundations of a quay or the closely spaced piles of a wharf can act as a breakwater, and are consequently more liable to silting. Piers can range in size and complexity from a simple lightweight wooden structure to major structures extended over a mile out to sea. In American English, pier may be synonymous with dock.

Piers have been built for several purposes, and because these different purposes have distinct regional variances, the term pier tends to have different nuances of meaning in different parts of the world. Thus in North America and Australia, where many ports were, until recently, built on the multiple pier model, the term tends to imply a current or former cargo-handling facility. In Europe in contrast, where ports more often use basins and river-side quays than piers, the term is principally associated with the image of a Victorian cast iron pleasure pier. However, the earliest piers pre-date the Victorian age.

Piers can be categorized into different groupings according to the principal purpose. However there is considerable overlap between these categories. For example, pleasure piers often also allow for the docking of pleasure steamers and other similar craft, whilst working piers have often been converted to leisure use after being rendered obsolete by advanced developments in cargo-handling technology.

Senin, 31 Oktober 2011

METHODE PENGECORAN BETON


         Sebagai seorang supervisor cor, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Ada beberapa cara yang harus diperhatikan antara lain :
1.    Pengecekan awal (First Chekking)
1.1.   Periksa posisi beton decking dan atau kaki tulangan apakah telah dapat memberikan kepastian posisi tulangan tidak akan berubah selama dan setelah proses pengecoran dilakukan
1.2.   Periksa sudut-sudut dan sambungan dari acuan beton, apakah terdapat celah yang dapat mengakibatkan keluarnya air semen. Bila ditemukan, celah agar segera ditutup
1.3.   Periksa kekokohan dari acuan beton apakah mampu menahan beban dari adukan beton yang belum mengeras (untuk menghindarkan lendutan akibat beban adukan)
1.4.   Permukaan beton lama yang nantinya berhubungan dengan hasil pengecoran harus mempunyai permukaan kasar dan telah disapu dengan spesi adukan semen yang sesuai dengan campuran beton baru
1.5.   Periksa mix design campuran beton yang akan dipergunakan, batasan proporsi takaran campuran minimum sesuai tabel berikut

Tabel Batasan Proporsi Takaran Campuran
Mutu
Beton
Ukuran Agregat Maks.(mm)
Rasio Air / Semen Maks (terhadap berat)
Kadar Semen Min.
(kg/m3 dari campuran)
K400
37
25
19
0.45
0.45
0.45
356
370
400
K350
37
25
19
0.45
0.45
0.45
315
335
365
K300
37
25
19
0.45
0.45
0.45
300
320
350
K250
37
25
19
0.50
0.50
0.50
290
310
340
K175
50
0.57
300
K125
50
0.60
250
1.6.   Periksa kelayakan alat penggetar (internal atau external vibrator), untuk jumlah alat penggetar internal vibrator, sesuaikan dengan tabel berikut (kira-kira)
Tabel Jumlah minimum Internal Vibrator
Kecepatan Mengecor Beton
Jumlah Alat
4 m3 beton/jam
2
8 m3 beton/jam
3
12 m3 beton/jam
4
16 m3 beton/jam
5
20 m3 beton/jam
6

1.7.   Periksa peralatan tremie atau drop bucket untuk pengecoran di bawah air
1.8.   Periksa kebersihan area yang akan di cor dari kotoran – kotoran yang ada
1.9.   Permukaan sebelah dalam acuan yang nantinya menempel dengan beton harus dibasahi dengan air atau diolesi minyak yang tidak meninggalkan bekas
2.    Pengecoran Beton
2.1.   Pengecoran tidak boleh dilakukan pada kondisi cuaca seperti berikut :
a.         Hujan, air hujan langsung mengenai area pengecoran
b.        Temperature melebihi 30° C
c.         Lengas nisbi dari udara kurang dari 40%
d.        Tingkat penguapan melampaui 1,0 kg/m2/jam
Pada point (b,c,d) pengecoran masih dapat dilakukan dengan penambahan admixture yang sesuai dengan kondisi tempat pekerjaan
2.2.   Pengecoran dilakukan segera setelah selesai pengadukan dan sebelum beton mulai mengeras
2.3.   Pengecoran beton harus dilanjutkan tanpa berhenti sampai dengan sambungan konstruksi (construction joint) yang telah disetujui sebelumnya atau sampai pekerjaan selesai. Hal ini dimaksudkan agar tercapainya homogenitas beton secara keseluruhan untuk menjamin sifat kedap air
2.4.   Jarak jatuh bebas ke dalam cetakan harus pada ketinggian kurang dari 150 cm, apabila melebihi dapat menyebabkan segregasi spesi beton. Serta tidak diperkenankan menimbun beton dalam jumlah banyak di suatu tempat dengan maksud untuk kemudian meratakannya sepanjang acuan
2.5.   Lakukan slump test (test kekentalan adukan beton) selama pelaksanaan pengecoran untuk menjamin agar nilai air semen tetap sesuai dengan mix design
2.6.   Lakukan pemadatan dengan menggunakan alat penggetar (internal atau external vibrator). Hal ini dilakukan agar semua sudut-sudut terisi , sela-sela di antara dan di sekeliling tulangan terpenuhi tanpa menggeser kedudukan tulangan tersebut membuat agar permukaan menjadi rata dan halus, mengeluarkan gelembung-gelembung udara dan mengisi semua rongga. Cacat beton yang bisa ditimbulkan dari hal ini adalah terbentuknya sangkar kerikil.
2.7.   Lakukan perawatan setelah beton mulai mengeras dengan menyelimutinya dengan bahan yang dapat menyerap air. Lembaran bahan harus dibuat jenuh dalam waktu paling sedikit 3 hari. Perawatan beton juga dapat dilakukan dengan uap ataupun secara chemical.
2.8.   Apabila digunakan acuan kayu, acuan tersebut harus dipertahankan basah pada setiap saat sampai dibongkar.
2.9.   Lalu lintas ataupun penambahan beban selain beban sendiri tidak diperkenankan sampai beton berumur 7 hari setelah pelaksanaan pengecoran.
2.10.    Pada lantai beton yang difungsikan sebagai lantai aus harus dirawat setelah permukaannya mulai mengeras dengan cara ditutup oleh lapisan lembab setebal 5 cm paling sedikit 21 hari

3.    Pengecekan Hasil Pengecoran
3.1.   Periksa permukaan beton hasil pengecoran, hasil pengamatan dan penyebab dapat terlihat pada tabel berikut :
PENGAMATAN
PENYEBAB
Retak – retak halus kelihatan
Peretakan kering/susut, retak – retak hidratasi. Kelebihan pembebanan pengendapan beton pada stadium plastis.
Ruang – ruang besar di dalam beton
Sangkar krikil atau ruang udara tertutup
Permukaan berpasir
Kurangnya perawatan

3.2.   Apabila terdapat cacat seperti pada point 1, lakukan pemahatan pada lokasi rusak sampai ke bagian yang utuh, membentuk permukaan yang tegak lurus terhadap permukaan beton. Lubang harus dibasahi dengan air dan adukan semen acian (hanya air dan semen) harus dioleskan pada permukaan lubang. Selanjutnya lubang diisi dan di tumbuk dengan adukan yang kental yang merupakan campuran pengisi yang dipersyaratkan dan dicampur 30 menit sebelum dipakai. Campuran yang dipersyaratkan harus mempunyai kekuatan dan warna yang sama. Apabila diperlukan permukaan beton dapat dihaluskan dengan amplas, caborondum (gurinda) sehingga seluruh permukaan menjadi rata dan halus
3.3.   Pengetesan sample beton dilakukan untuk setiap mutu beton dan untuk setiap jenis komponen struktur yang dicor terpisah pada tiap hari pengecoran. Setiap pengujian minimum harus mencakup empat benda uji, dengan maksud sebagai berikut :
a.         Benda uji pertama di uji/test pembebanan kuat tekan sesudah 3 hari
b.        Benda uji kedua di uji/test pembebanan kuat tekan sesudah 7 hari
c.         Benda uji ketiga di uji/test pembebanan kuat tekan sesudah 14 hari
d.        Benda uji keempat di uji/test pembebanan kuat tekan sesudah 28 hari
3.4.   Pembongkaran acuan tidak boleh dibongkar dari bidang vertikal, dinding, kolom yang tipis dan struktur yang sejenis lebih awal 30 jam setelah pengecoran beton. Cetakan yang ditopang oleh perancah di bawah pelat, balok, gelagar, atau struktur busur, tidak boleh dibongkar hingga pengujian menunjukan bahwa paling sedikit 85% dari kekuatan rancangan beton telah dicapai
3.5.   Lakukan pemeriksaan pada construction joint, untuk memastikan sambungan tidak terjadi kebocoran dan discontinuity. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan penyemprotan air atau penggenangan air pada lokasi construction joint, apabila terjadi rembesan maka construction joint yang ada harus diperbaiki.
3.6.   Pekerjaan plesteran pada permukaan beton jadi tidak diizikan

Kamis, 27 Oktober 2011

BETON

Bahan-bahan penyusun beton merupakan faktor yang sangat penting untuk menghasilkan bangunan yang kita inginkan dan sesuai dengan yang direncanakan. Bahan campuran beton tersebut terlebih dahulu di campur mengunakan perencanaan campuran dari beton. Perencanaan campuran beton (mix desain)adalah suatu cara untuk menentukan perbandingan bahan-bahan campurannya sedemikian, sehingga untuk keadaan-keadaan tertentu dihasilkan beton dengan sifat-sifat yang disyaratkan dan dengan meminimalkan biaya yang dibutuhkan. Dalam biaya tersebut sudah termasuk ongkos perencanaan campuran betonnya, seperti pengadukan, pengecorannya serta pengawasaannya di tempat pengerjaan.
            Beton dapat diklasifikasikan berdasarkan berat jenisnya dan menurut kelasnya. Berdasarkan jenis beratnya beton dibedakan menjadi beton ringan, beton sedang, dan beton berat. Dan berdasarkan kelasnya beton terdiri dari beton kelas I, beton kelas II, dan beton kelas III. Mutu beton kelas III dinyatakan dengan huruf K(sesuai PBI ’71) dan fc’(sesuai SNI ’91), dengan angka di belakangnya menyatakan kekuatan karakteristiknya.
         Ditinjau dari pemakaiannya secara umum beton dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu: Beton Konstruksi massa, beton konstruksi bentuk, dan beton konstruksi jalan. Sedangkan berdasarkan teknik pembuatannya, beton dibedakan menjadi: betn biasa yang terdiri dari 2 jenis yaitu beton siap pakai dan beton yang dibuat di lapangan, beton pracetak dan beton pra tegang.
         Beton disusun oleh tiga komponen utama, yakni semen, air dan agregat. Dan jika diperlukan akan ditambahkan bahan pembantu (admixture) untuk merubah sifat-sifat tertentu dari beton tersebut. Sifat-sifat beton dalam keadaan  masih segar dan setelah mengeras dapat memperlihatkan perbedaan yang cukup besar. Tergantung pada jenis, mutu serta perbandingan-perbandingan dari bahan-bahan campuran yang digunakan.
            Beton dapat diklasifikasikan berdasarkan berat jenisnya dan menurut kelasnya. Berdasarkan berat jenisnya beton dibedakan menjadi beton ringan, beton sedang dan beton berat. Dan berdasarkan kelas betonnya dibedakan menjadi beton kelas I, kelas II dan beton kelas III. Beton kelas III dinyatakan dengan K dimana angka dibelakangnya menyatakan kekuatan karakteristiknya.

                                                                
Klasifikasi Beton berdasarkan berat jenisnya dan kelasnya :

Kelas
Mutu
’bk
Kg/cm2

’bk
Kg/cm,dgs
46
Tujuan
Pengawasan Terhadap
Mutu agregat
Kekuatan agregat
I
B0
-
-
Non Struktural
Ringan
Tanpa
II
B1
K125
K175
K225
-
125
175
225
-
200
250
300
Struktural
Struktural
Struktural
Struktural
Sedang
Ketat
Ketat
ketat
Tanpa
Kontiniu
Kontiniu
Kontiniu
III
K>225
>225
>300
Struktural
Ketat
Kontiniu

a.       Menurut kekasarannya, yaitu:
1).    Beton segar           : masih dapat dikerjakan
2).    Beton hijau            : beton yang baru saja dituangkan dan segera     harus    dipadatkan.
3).    Beton muda          : 3 hari < 28 hari
4).    Beton keras           : umur >28 hari
b.      Menurut berat jenis
1).    Beton ringan         : BJ < 2 t/m3
2).    Beton sedang        : BJ 2 – 2,9 t/m3
3).    Beton berat           : BJ > 2,8 t/m3
c.       Menurut cara pengecoran
1).    Cara Setempat (Insitu)      : tidak dipindahkan/tetap disitu.
2).    Cara Eksitu ditempat        : tidak langsung pada fungsi (dibuat ditempat lain).
3).    Pabrikasi/pracetak             : dirancang, dicetak, dibuat pabrik.
4).    Beton siap pakai                : beton dirancang khusus dengan mutu berat dengan suhu tinggi.
d.      Menurut PBI tahun 1971, beton dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
1).    Beton kelas I         : beton untuk pekerjaan-pekerjaan non-struktural.
2).    Beton kelas II       : beton pekerjaan-pekerjaan structural secara umum.
3).    Beton kelas III      : beton untuk pekerjaan structural dimana dipakai mutu beton dengan kuat desak karakteristik yang lebih tinggi dari 225 kg/cm2. Yang dimaksudkan dengan kuat tekan karakteristik, adalah kuat tekan dimana dari sejumlah besar pemeriksaan benda-benda uji kemungkinan adanya kuat desak yang kurang dari kuat desak itu terbatas sampai 5%.
stk  = sbm – 1,64 S
stk  = kuat desak karakteristik
sbm            = kuat desak beton rata-rata
S    = standar deviasi